Glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, dengan glaukoma sekunder menjadi salah satu penyebab yang sering diabaikan. Menurut data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan bahwa sekitar 76 juta orang di seluruh dunia menderita glaukoma pada tahun 2020, dan angka ini diprediksi meningkat menjadi 112 juta pada tahun 2040 (WHO, 2021).
Glaukoma sekunder dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti inflamasi, trauma, dan penggunaan obat-obatan tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa glaukoma sekunder menyumbang sekitar 10-30% dari total kasus glaukoma (Bonomi et al., 2000). Namun, data yang tersedia sering kali kurang memadai, dan banyak kasus tidak terdiagnosis, terutama di negara berkembang.
Salah satu tantangan utama dalam penanganan glaukoma sekunder adalah diagnosis yang sering kali tidak tepat. Gejala yang mirip dengan jenis glaukoma lainnya dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis. Misalnya, salah satu studi menunjukkan bahwa hanya 40% pasien dengan glaukoma sekunder terdiagnosis dengan benar pada kunjungan pertama mereka (Kass et al., 2004).
Tatalaksana glaukoma sekunder juga dapat menjadi kompleks dan memerlukan pendekatan multidisiplin. Terapi yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada saraf optik, yang berujung pada kebutaan permanen. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan dalam penanganan glaukoma sekunder dapat meningkatkan risiko kehilangan penglihatan yang signifikan (Levine et al., 2017).
Keterlambatan dalam tatalaksana glaukoma sekunder dapat mengakibatkan konsekuensi yang fatal, tidak hanya bagi individu yang terdiagnosis, tetapi juga bagi sistem kesehatan secara keseluruhan. Menurut penelitian terbaru, sekitar 50% pasien dengan glaukoma sekunder yang tidak diobati dapat mengalami kebutaan dalam waktu lima tahun setelah diagnosis (Morrison et al., 2015).
setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan peserta: