Kegawat-daruratan dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Kegawat-daruratan merupakan suatu kondisi di mana harus dilakukan tindakan yang cepat dan tepat karena apabila tidak dilakukan dengan segera dapat menyebabkan kematian. Saat ini penanganan awal terhadap kegawatdaruratan sudah menjadi hal yang harus diketahui dan dipelajari oleh setiap orang dan instansi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit. Di beberapa negara, penanganan awal kegawatan sudah merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki, tidak hanya untuk petugas kesehatan namun juga untuk masyarakat umum. Beberapa standar akreditasi nasional maupun internasional seperti ISO, KARS (PAP 3.1 &3.2) dan JCI telah memasukkan elemen pengetahuan dasar penanganan kegawatan tersebut menjadi bagian dari standar yang wajib dipenuhi oleh Rumah Sakit.
Kegawatan yang sering terjadi diantaranya adalah karena penyakit jantung. Penyakit jantung merupakan penyakit yang meyebabkan kematian nomor satu di dunia. Lebih dari 17,2 juta orang di seluruh dunia meninggal setiap harinya akibat penyakit jantung (AHA, 2010). Di Indonesia sendiri belum ada data resmi yang dipublikasikan terkait angka kematian di Rumah Sakit pertahunnya, namun angka kejadiannya diperkirakan tertinggi penyakit yang menyebabkan kematian.
Di dalam Rumah Sakit, upaya untuk menurunkan atau mengurangi angka kejadian Mortality (cardiac arrest) adalah dengan melakukan pencegahan dan tatalaksana kegawat daruratan baik tingkat dasar (basic) maupun tingkat lanjut (advance). Pencegahan dapat dilakukan karena penurunan kondisi pasien dapat terlihat sebelum pasien tersebut mengalami henti nafas dan jantung, sehingga dibutuhkan suatu sistem yang terstandar agar sistem deteksi perburukan kondisi pasien dapat dilakukan oleh setiap petugas kesehatan yaitu dengan menggunakan Early Warning Score (EWS). Namun berdasarkan dari perkembangkan ilmu dan kebutuhan di masyarakat, EWS ini dapat digunakan juga pada area sebelum pasien masuk ke Rumah Sakit seperti Puskesmas maupun Klinik.
EWS adalah sebuah sistem skoring untuk mendeteksi perubahan fisiologis pasien yang umumnya digunakan di unit rawat inap sebelum pasien mengalami kondisi perburukan. Skoring EWS juga disertai dengan algoritme tindakan berdasarkan hasil skoring dari pengkajian pasien. (Duncan & McMullan, 2012). Early warning score lebih berfokus kepada mendeteksi kegawatan sebelum hal tersebut terjadi. Sehingga diharapkan dengan tatalaksana yang lebih dini, kondisi yang mengancam jiwa dapat tertangani lebih cepat atau bahkan dapat dihindari, sehingga output yang dihasilkan lebih baik.
Upaya selanjutnya dalam mengurangi angka kematian adalah dengan melakukan tindakan kegawat daruratan medis. Henti jantung dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga sangat dibutuhkan kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama dan lanjutan. Pertolongan pertama merupakan pertolongan dasar yang seharusnya dapat dilakukan oleh siapa saja petugas yang ada di Rumah sakit. Pertolongan lanjutan membutuhkan keahlian yang lebih sehingga dibutuhkan tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan tingkat lanjut (advance). Kemampuan individu dalam penanganan kegawatdaruratan harus didukung juga oleh kemampuan dari infra struktur dari lingkungan kerja itu sendiri, sehingga akan terbentuk sistem penanganan kegawat daruratan yang baik di Rumah Sakit yaitu dengan Code Blue System. Saat ini kebutuhan pertolongan kegawatan henti jantung tidak hanya dilakukan di Rumah Sakit saja namun dapat dilakukan di area seperti Puskesmas dan klinik dengan kemampuan sumberdaya yang terbatas namun tetap dapat dilakukan.
Setelah mengikuti seminar, peserta lebih memahami mengenai pencegahan serta tatalaksana henti jantung dengan menggunakan EWS dan Code Blue System di area sebelum dan di dalam Rumah Sakit